Sabtu, 26 November 2011

SENYUM HAMASAH...






 
img1.gif
img2.gif
………………………..
Senyumlah seperti Rasulullah
Senyumnya bersinar dengan cahaya
Senyumlah kita hanya karena Allah
Itulah senyuman bersedekah
……………………….

     Mendengar bait Senyum-nya Raihan mengingatkan saya pada aktivitas yang susah gampang : tersenyum. Dalam keadaaan tenang, senyum tak usah kita hadirkan. Tapi, senyum dalam keadaan susah, sangat menantang.
      Saya pernah ditegur seorang teman karena berlalu begitu saja dan hanya menatapnya kosong seperti tidak kenal padahal kami bertemu dan bertatap muka. “ Kok nggak biasanya ? Baru mikir apa ? “tanyanya setelah beberapa hari bertemu lagi. Saya bengong dengan pertanyaan itu. Kenapa ia sampai tahu kalau saya baru memikirkan sesuatu.
      Setelah saya runtut dari awal, sebabnya sederhana. Karena saya lupa tersenyum saat berjumpa itu. Ternyata, untuk senyum butuh konsentrasi. Ketika kepala tidak memberi porsi pada pertemuan itu dan melayang  pada urusan yang lain maka jadinya seperti itu. Masih untung kalau tidak konsentrasi itu membuat kita lupa tersenyum, kalu tidak konsentrasi malah membuat kita tersenyum terus, kan bahaya.!!
      Pada kasus lain, saya menjumpai suatu komunikasi muslimah yang tengah bercanda dengan tawanya yang ngakak dan sangat mengesalkan, tema pembicaraan yang sudah tidak terarah dan diramaikan intermezzo diluar batas. Pada kasus ini, pada saat kita tidak bisa mengendalikan diri maka senyum bisa menjadi tidak bermakna. Ngakak dan sampai lupa diri. Pada kondisi seperti inilah senyum menjadi melalaikan.
      Tapi, lain lagi dengan kasus yang satu ini. Saya sampai diliputi pertanyaan “ Apa salah saya ? “, ketika saya menjumpai seorang teman yang seperti sakit gigi. Diajak ngomong ini diam,  diajak bercanda diam, diajak ini diam. Repot. Perasaan bersalah ternyata terbawa sampai kerumah dan semua membuat saya merasa tidak enak . Mau minta maaf nggak tahu saya salah apa. Mau tanya apa salah saya, nggak ada kesempatan ( wong diam saja ). Mau diam saja, saya juga mikir.
        Sebagai orang yang mengenalnya, saya bisa menebak kalau dia sedang bermasalah . Tapi, orang yang tidak mengenal dia belum tentu bisa menduga ke arah itu dan memaklumi. Bikin repot orangkan. Dari kasus ini saya bisa menyimpulkan bahwa untuk tersenyum pun kita butuh penataan emosi. Pada saat kita tidak bisa menstabilkan emosi, yang muncul adalah prasangka. Prasangka yang akan  merepotkan dan kadang menyiksa lawn bicara. Makanya pada saat sedih, bahkan sedih banget, kita tertantang untuk tetap tegar biar nggak membuat orang berpikir yang macam-macam. Salah satunya dengan senyum itu.
         Menjadi fitrah bagi setiap manusia, semua dari kita suka pada wajah ramah dan memancarkan ketenangan. Lebih dari itu, senyum menjadi pancaran kondisi hati kita yang sebenarnya. Hati yang memancarkan keimanan, akan terpancar dari senyumannya yang teduh. Hati yang memburaikan kemaksiatan dan kekotoran akan terpancar dari senyumnya yang amburadul.
        Abbas As-Sisi mengatakan,” Senyum adalah sebuah ungkapan rasa gembira, hasil sebuah reaksi tulus yang ada didalam jiwa, menggerakkan hati, lalu memancarkan sinar pada wajah laksana pancaran sinar petir. Ekspresi wajah seseorang seolah mampu bersuara dan berbicara. Karena ia dapat tertangkap dan menorehkan kesan dalam hati, yang kemudian semakin mempererat jarak antar mereka.”
       Dalam dakwah, senyum menjadi satu awal yang sangat manis. Senyum bisa memberi kesan bahwa kita membuka diri dan menerima dengan penuh keikhlasan. Sebaliknya, tanpa senyum kita bisa ditinggal, bahkan mungkin disapa pun nggak.
      Ternyata, kita pun harus banyak belajar tersenyum. Kita belajar menata hati biar senyum kita juga lebih tertata rapi. Ada pada saat kita senang, ada juga pada saat kita susah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar