………………………..
Senyumlah
seperti Rasulullah
Senyumnya bersinar dengan cahaya
Senyumlah kita hanya karena Allah
Itulah senyuman bersedekah
……………………….
Mendengar bait Senyum-nya
Raihan mengingatkan saya pada aktivitas yang susah gampang : tersenyum. Dalam keadaaan tenang,
senyum tak usah kita hadirkan. Tapi, senyum dalam keadaan susah, sangat
menantang.
Saya pernah ditegur seorang
teman karena berlalu begitu saja dan hanya menatapnya kosong seperti tidak
kenal padahal kami bertemu dan bertatap muka. “ Kok nggak biasanya ? Baru mikir
apa ? “tanyanya setelah beberapa hari bertemu lagi. Saya bengong dengan
pertanyaan itu. Kenapa ia sampai tahu kalau saya baru memikirkan sesuatu.
Setelah saya runtut dari
awal, sebabnya sederhana. Karena saya lupa tersenyum saat berjumpa itu.
Ternyata, untuk senyum butuh konsentrasi. Ketika kepala tidak memberi porsi
pada pertemuan itu dan melayang pada
urusan yang lain maka jadinya seperti itu. Masih untung kalau tidak konsentrasi
itu membuat kita lupa tersenyum, kalu tidak konsentrasi malah membuat kita tersenyum
terus, kan bahaya.!!
Pada kasus lain, saya
menjumpai suatu komunikasi muslimah yang tengah bercanda dengan tawanya yang
ngakak dan sangat mengesalkan, tema pembicaraan yang sudah tidak terarah dan
diramaikan intermezzo diluar batas. Pada kasus ini, pada saat kita tidak bisa
mengendalikan diri maka senyum bisa menjadi tidak bermakna. Ngakak dan sampai
lupa diri. Pada kondisi seperti inilah senyum menjadi melalaikan.
Tapi, lain lagi dengan kasus
yang satu ini. Saya sampai diliputi pertanyaan “ Apa salah saya ? “, ketika
saya menjumpai seorang teman yang seperti sakit gigi. Diajak ngomong ini
diam, diajak bercanda diam, diajak ini
diam. Repot. Perasaan bersalah ternyata terbawa sampai kerumah dan semua membuat
saya merasa tidak enak . Mau minta maaf nggak tahu saya salah apa. Mau tanya
apa salah saya, nggak ada kesempatan ( wong diam saja ). Mau diam saja, saya
juga mikir.
Sebagai orang yang
mengenalnya, saya bisa menebak kalau dia sedang bermasalah . Tapi, orang yang
tidak mengenal dia belum tentu bisa menduga ke arah itu dan memaklumi. Bikin
repot orangkan. Dari kasus ini saya bisa menyimpulkan bahwa untuk tersenyum pun
kita butuh penataan emosi. Pada saat kita tidak bisa menstabilkan emosi, yang
muncul adalah prasangka. Prasangka yang akan
merepotkan dan kadang menyiksa lawn bicara. Makanya pada saat sedih,
bahkan sedih banget, kita tertantang untuk tetap tegar biar nggak membuat orang
berpikir yang macam-macam. Salah satunya dengan senyum itu.
Menjadi fitrah bagi setiap
manusia, semua dari kita suka pada wajah ramah dan memancarkan ketenangan.
Lebih dari itu, senyum menjadi pancaran kondisi hati kita yang sebenarnya. Hati
yang memancarkan keimanan, akan terpancar dari senyumannya yang teduh. Hati
yang memburaikan kemaksiatan dan kekotoran akan terpancar dari senyumnya yang
amburadul.
Abbas As-Sisi mengatakan,” Senyum adalah sebuah ungkapan rasa gembira,
hasil sebuah reaksi tulus yang ada didalam jiwa, menggerakkan hati, lalu
memancarkan sinar pada wajah laksana pancaran sinar petir. Ekspresi wajah
seseorang seolah mampu bersuara dan berbicara. Karena ia dapat tertangkap dan
menorehkan kesan dalam hati, yang kemudian semakin mempererat jarak antar
mereka.”
Dalam dakwah, senyum menjadi
satu awal yang sangat manis. Senyum bisa memberi kesan bahwa kita membuka diri
dan menerima dengan penuh keikhlasan. Sebaliknya, tanpa senyum kita bisa
ditinggal, bahkan mungkin disapa pun nggak.
Ternyata,
kita pun harus banyak belajar tersenyum. Kita belajar menata hati biar senyum kita juga lebih
tertata rapi. Ada pada saat kita senang, ada
juga pada saat kita susah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar