Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia
(Esei Hukum Peri Umar Farouk)
Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu yang ada di atas, di balik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini; … sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan…
Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakkan hati… Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan…” - Alfred North Whitehead, 1967
Pendahuluan
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank
yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat
ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam
selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).
Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis
penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau
yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat
UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan
pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution)
yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk
fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free),
posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank
konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan
kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading).
Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang
merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan
pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan
prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi
sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok
menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif
mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan
merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin
terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas
perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara
internasional.
Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga,
pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal
tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga
adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula
pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan
membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun
1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil.
Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis
antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud
Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan
mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul
A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr
Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan
dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul
Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan
manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan
menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah
pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian .
Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr
ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali
Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih
bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank,
yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai
negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal
Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah
Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali
diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara
Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember
1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank
Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International
Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi
Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang
diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan
bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan
skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret
1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan
Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil
minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam.
Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang
Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan
pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar
dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam
bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,
Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga
perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua
jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank),
seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House,
Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment,
Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and
Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding
companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment
Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic
Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama)
dan Islamic Investment House (Amman).
Perbankan Islam di Indonesia
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal
periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai
pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian
tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis.
Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB)
dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M
Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank
Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan
riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan
guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara
sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus,
yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT
Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri
pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi
beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan
September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan
dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan
ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali
Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan
realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam
negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI
memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di
Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan
kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu
berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah
pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan
konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri,
serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di
Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka
cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru
dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk
pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis
maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian.
Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali
melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan
sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana
dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya
menyebutkan:
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.”
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun
hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip
bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi
hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992
tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank
Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan
Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan
istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut
ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip
muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
- Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
- Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut
di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank
Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam
yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan
dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal
ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang
mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi
BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan
investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat
terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan
prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di
Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan
bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan
satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan
Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat
perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan
syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa
MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa
muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan
lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam
transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah
lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak
untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi
dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan
kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan
di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula
merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan
merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang
tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1
Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan
Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank
Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank
Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan
lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui
Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
- Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
- Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
- Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat
dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia
secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :
- Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
- Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
- Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan
dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip
syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara
berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter.
Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank
dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain,
dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru
secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi
penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan
tugas dan kewenangannya.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis
kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib
mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya
dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis
kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan
fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.
Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi
fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank
seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang
transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:
No. | NOMOR FATWA | TENTANG |
1 | 01/DSN-MUI/IV/2000 | Giro |
2 | 02/DSN-MUI/IV/2000 | Tabungan |
3 | 03/DSN-MUI/IV/2000 | Deposito |
4 | 04/DSN-MUI/IV/2000 | Murabahah |
5 | 05/DSN-MUI/IV/2000 | Jual Beli Salam |
6 | 06/DSN-MUI/IV/2000 | Jual Beli Istishna |
7 | 07/DSN-MUI/IV/2000 | Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) |
8 | 08/DSN-MUI/IV/2000 | Pembiayaan Musyarakah |
9 | 09/DSN-MUI/IV/2000 | Pembiayaan Ijarah |
10 | 10/DSN-MUI/IV/2000 | Wakalah |
11 | 11/DSN-MUI/IV/2000 | Kafalah |
12 | 12/DSN-MUI/IV/2000 | Hawalah |
13 | 13/DSN-MUI/IX/2000 | Uang Muka dalam Murabahah |
14 | 14/DSN-MUI/IX/2000 | Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS |
15 | 15/DSN-MUI/IX/2000 | Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS |
16 | 16/DSN-MUI/IX/2000 | Diskon dalam Murabahah |
17 | 17/DSN-MUI/IX/2000 | Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran |
18 | 18/DSN-MUI/IX/2000 | Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS |
19 | 19/DSN-MUI/IX/2000 | Al-Qardh |
20 | 20/DSN-MUI/IX/2000 | Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah |
21 | 21/DSN-MUI/X/2001 | Pedoman Umum Asuransi Syari’ah |
22 | 22/DSN-MUI/III/2002 | Jual Beli Istishna Paralel |
23 | 23/DSN-MUI/III/2002 | Potongan Pelunasan Dalam Murabahah |
24 | 24/DSN-MUI/III/2002 | Safe Deposit Box |
25 | 25/DSN-MUI/III/2002 | Rahn |
26 | 26/DSN-MUI/III/2002 | Rahn Emas |
27 | 27/DSN-MUI/III/2002 | Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik |
28 | 28/DSN-MUI/III/2002 | Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) |
29 | 29/DSN-MUI/VI/2002 | Pembiayaan Pengurusan Haji LKS |
30 | 30/DSN-MUI/VI/2002 | Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah |
31 | 31/DSN-MUI/VI/2002 | Pengalihan Utang |
32 | 32/DSN-MUI/IX/2002 | Obligasi Syari’ah |
33 | 33/DSN-MUI/IX/2002 | Obligasi Syari’ah Mudharabah |
34 | 34/DSN-MUI/IX/2002 | L/C Impor Syari’ah |
35 | 35/DSN-MUI/IX/2002 | L/C Ekspor Syari’ah |
36 | 36/DSN-MUI/X/2002 | Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia |
37 | 37/DSN-MUI/X/2002 | Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah |
38 | 38/DSN-MUI/X/2002 | Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) |
39 | 39/DSN-MUI/X/2002 | Asuransi Haji |
40 | 40/DSN-MUI/X/2003 | Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal |
41 | 41/DSN-MUI/III/2004 | Obligasi Syariah Ijarah |
42 | 42/DSN-MUI/V/2004 | Syariah Charge Card |
43 | 43/DSN-MUI/VIII/2004 | Ganti Rugi (Ta’widh) |
Penutup
Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir
disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan
lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas
di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah
juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN).
End Note
*) Peri Umar Farouk, sedang menyelesaikan S2 Magister Hukum di Fak.
Hukum UGM. Bekerja sebagai konsultan acess to justice di sebuah lembaga
internasional. Pernah bekerja sebagai internal corporate lawyer di
WIKA & BNI (ahli hukum di tim pembentukan cabang-cabang syariah
pertama dan trainer bidang hukum ekonomi bisnis). Dosen Hukum Perbankan
Syariah & Takaful di UMY. Sedang mengembangkan inlawnesia.net -perhimpunan pembelajar hukum Indonesia, bergerak di bidang riset, training, organizing & publishing.
Contact: www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net
Contact: www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net
- Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4.
- Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126.
- Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997, hal. 196.
- Ibid., hal. 5.
- Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58.
- Ibid., hal. 58 – 59.
- Ibid., hal. 59.
- Ibid., hal. 64 – 65.
- M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 614.
- Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995, hal. 60.
- Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 68 – 69.
- Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
- Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
- Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
- Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar