Setiap kita, pasti pernah punya hati yang ternoda. Rasa kagum,
ataupun cinta, pasti pernah hadir menyelip di sela-selanya. Tidak
apa-apa, itu fitrah. Tapi yang jadi masalah, adalah pilihan kita
terhadap tindakan selanjutnya. Apakah rasa itu kita pupuk agar semakin
indah, kita diamkan di sudut terdalam, atau kita coba tekan dan redam.
Yang pasti, sangat susah untuk menghapusnya begitu saja.
Rasa itu hadir, tak peduli siapa penghuni sang hati. Seorang da’i pun
tak lepas dari tamu yang satu ini. Ia, bisa mendatangkan rahmat, jika
ia datang pada hati yang tepat. Hati dua insan Allah yang telah
mengumandangkan ijab kabul. Tapi ia juga bisa mendatangkan murka, jika
ia memancing maksiat, walaupun itu hanya sekedar zinanya hati yang
merindu pada ia yang belum halal untukmu.
Memang susah, karena sejatinya ia adalah fitrah. Tapi, bukankah kita
sudah ditempa oleh tarbiyah? Kita mengaku sebagai aktivis dakwah. Maka
masih pantaskah rasa yang belum halal itu hadir menyemai bunga di hati
kita? Saat saudara-saudara kita di Palestina sibuk dengan jihadnya, saat
segelintir ulama di Eropa merangkak dalam dakwahnya, apakah kita masih
disibukkan oleh ia yang selalu meraja di alam khayal kita? Ia yang
selalu menerima sms perhatian kita? Ia yang menodai ikhlas kita dalam
amal yang tak seberapa? Naudzubillah.
Betapa durhakanya kita, jika mengganti singgasana yang seharusnya
menjadi tempat Rabb Tertinggi, Sang Pemilik Cinta Abadi, dengan ia yang
hanya manusia biasa. Betapa durhakanya kita, jika demi meng-sms-nya kita
pertaruhkan larangan Rabb kita. Betapa durhakanya kita, mengkhianati
Sang Pemberi semua cinta di sekeliling kita.
Ingatkah kita, tentang salah satu perang Rasulullah yang menuai
kekalahan hanya karena salah seorang prajuritnya tak melaksanakan siwak,
yang nyatanya hanyalah sebuah sunnah. Ingatkah kita, bahwa
prajurit-prajurit yang menemani perang Rasulullah adalah mereka yang
malam-malamnya ditempa dengan sujud-sujud panjang, jauh dari maksiat
sekecil apapun. Lalu apa harapan kita, pada dakwah yang diusung oleh
orang-orang yang hati dan sikapnya ternoda?
* * *
Pernah, seorang akhwat bercerita padaku, tentang mantannya yang sudah jadi ikhwan
(benarkah?). Ia masih sering mengirimkan sms pada temanku, dengan
panggilan “adikku”, dengan nada-nada yang mencerminkan perhatian.
Sungguh, aku tertawa dalam hati. Betapa munafiknya lelaki itu,
membohongi dunia dengan penampilan ikhwannya. Tak ada artinya kau ingin orang lain menilaimu sebagai seorang alim, lalu tak pedulikan penilaian Allah padamu?
Untukmu dan juga untukku, dan semua yang mengaku aktivis dakwah. Kita
yang seharusnya menjadi barisan terdepan untuk mengingatkan
orang-orang, tentang cinta hakiki Ilahi Rabbi. Bukan barisan terdepan
dalam daftar yang “berguguran di jalan dakwah”.
Memang susah, karena sejatinya ia fitrah. Tapi cobalah bertahan, jaga
sikap dan pandangan. Atau segerakanlah pernikahan, atau berpuasalah.
Yang pasti, jika kita bertahan dalam puasa hati yang panjang ini, Allah
kan menghadirkan pembuka yang istimewa, yang didapatkan dengan
perjuangan dalam menjaga, dan ridho-Nya…sudah pasti menaungi rumah
tangga kita. Ingat kisah Ali dan Fatimah? Bukankah kisah cinta mereka
seharusnya menjadi teladan. Saat ijab Kabul telah diucapkan, ada rahasia
yang terbuka. Bahwa satu sama lain telah pernah saling mengagumi.
Tetapi subhanallah, begitu besar penjagaan mereka terhadap hati yang
rapuh, hingga syaithan pun tak berhasil meraba, ada cinta yang pernah
ada. Dan saksikanlah, siapa yang memperjuangkan cinta mereka. Allah,
Sang Maha Segala. Betapa indah, bahkan langit pun menjadi saksi
sumber: www.fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar